Rabu, 30 Mei 2018
SOLUSI MASA
DEPAN UNTUK CITARUM
Pemberdayaan Masyarakat Lokal untuk
Percepatan Citarum Harum
Oleh: Hafizah Fikriah Waskan (Mahasiswi S1 Universitas Lambung
Mangkurat)
Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar pertama di
Asia Tenggara dan ketujuh di Dunia[1].
Menyandang predikat negara terluas, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan
yang luas wilayah daratannya hanya sepertiga dari total luas negara. Banyak
titik-titik sumber air berasal dari pegunungan dan juga wilayah-wilayah dengan
densitas hutan tinggi. Sumber air tersubut kemudian mengalir menjadi
sungai-sungai yang yang dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Berdasarkan hal itu, tentu tidak berlebihan menobatkan Indonesia
sebagai negara yang memiliki cadangan air tawar yang berlimpah. Ini juga
dibuktikan dengan adanya data yang dirilis mapsoftheworld.com pada tahun
2013, Indonesia menduduki peringkat kelima dunia sebagai negara dengan sumber
air terbarukan terbesar[2].
Namun, meskipun Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk 10
besar negara kaya air, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Nasional Nur Hidayati mengatakan kualitas air di Indonesia berada pada jumlah
dan kualitas yang tidak memadai. Beberapa daerah yang mengalami krisis air
yakni daerah padat penduduk seperti Pulau Jawa, disusul dengan Pulau Bali serta
Nusa Tenggara. Krisis air ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), pencemaran air dan lainnya[3].
Sungai
Citarum
Indonesia memiliki banyak sungai, meskipun tidak ada data yang
pasti berapa jumlah sungai yang ada di wilayah negara Indonesia. Sungai Citarum
adalah salah satunya, sungai ini merupakan sungai terpanjang dan terbesar di
Tatar Pasundan Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Sungai Citarum dinobatkan sebagai sungai terkotor dan tercemar di
dunia, sebuah yang kemudian deskripsi banyak diambil oleh media dan aktivis
lingkungan. Gelar ini diberikan oleh The World Bank pada tahun 2007. Dengan
panjang hampir 300 kilometer, air sungai ini digunakan lebih dari 30 juta orang
untuk irigasi, mencuci, bahkan sebagai air minum. Mulai dari masyarakat
Bandung, Karawang, Purwakarta, Bekasi hingga Jakarta. Artinya sungai Citarum
tak hanya dimanfaatkan masyarakat Jawa Barat.
Pemanfaatan sungai Citarum sangat bervariasi tak hanya sebagai
pemasok kebutuhan cuci dan minum masyarakat sekitarnya, sungai Citarum juga
merupakan sumber utama untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Ada tiga
waduk buatan yang dibangun sebagai PLTA dan juga untuk irigasi persawahan di
sungai ini. Di wilayah hulu ada PLTA Saguling, kemudian ada PLTA Cirata di
wilayah tengah, dan PLTA Ir H Djuanda yang berada di hilir Daerah Aliran Sungai
Citarum. PLTA ini digunakan sebagai pemasok listrik untuk pulau jawa dan
hotspot pariwisata yang paling padat di Bali.
Pencemaran
Sungai
Cerita tentang sungai Citarum memang
sangat terkenal di dunia. Media lokal sampai media internasional terlah
menyoroti hal ini. Media asal India (India, 2018),
India Times pernah mengangkat kehidupan warga bantaran sungai Citarum dengan
judul artikel “Indonesia to Clean Citarum, the World’s Dirtiest River.” Diawali
dengan gambaran seorang warga yang menderita penyakit kulit sebagai harga yang
harus dibayarkan untuk tinggal di bantaran sungai terkotor di dunia, artikel
ini menyebutkan dengan gamblang betapa tercemarnya sungai Citarum, banjir yang
sering terjadi hingga tingginya angka kunjungan warga setempat ke klinik
kesehatan sebagai dampak dari pencemaran yang ada.
Di tingkat nasional, media seperti Kompas juga aktif memantau
isu-isu mengenai sungai Citarum. Salah satu headline-nya adalah
“Ikan-ikan Pun Kalah di Citarum” yang menceritakan mengenai 14 jenis ikan asli
sungai Citarum yang punah dalam kurun 40 tahun hingga tahun 2007 (Ikan-ikan Pun Kalah di Citarum, 2011). Dalam Jurnal
Iktiologi Indonesia Volume 8 tahun 2018, pada kurun 1968-1977 ada 31 jenis ikan
yang di hidup di Waduk Ir H Djuanda. 23 jenis di antaranya adalah ikan asli dan
8 jenis sisanya adalah ikan tebaran. Namun, pada penelitian tahun 1998-2007
hanya ada ditemukan 9 jenis ikan asli, yang artinya ada 14 jenis ikan asli
sungai Citarum yang telah punah.
Tentu hal tersebut bukan sebuah prestasi
yang dapat dibanggakan. Dampaknya cukup parah, berkurangnya jenis ikan dan
keberagaman hayati mengubah ekosistem perairan dan mengurangi fungsi
ekohidrologinya. Fungsi permurnian air secara alami pun tidak berjalan dengan
semestinya karena salah satu komponen dalam daur ekohidrologinya menjadi
berkurang atau bahkan hilang.
Sematan The World’s Dirtiest River juga tak lepas dari
kenyataan bahwa permukaan air di sungai Citarum bahkan tidak terlihat dan
berubah menjadi lautan sampah. Tak hanya sampah dari penduduk bantaran sungai
Citarum, sampah juga merupakan kiriman dari beberapa sungai lain seperti Sungai
Citepus dan Sungai Cikapundung yang kemudian mengalir ke Citarum. Sampah ini
akhirnya mencemari salah satu sumber kehidupan warga.
Tak hanya masalah sampah, di sungai terpanjang dan terbesar di
Provinsi Jawa Barat ini juga berdiri perusahaan industri. Dari 3.200 industri
yang berdiri dari hulu ke hilir sungai Citarum, ada 1.900 perusahaan industri
yang tak memiliki instalasi pengolahan limbah. Secara otomatis industri ini
akan membuang limbahnya langsung ke sungai.
Data lain yang dikutip dari www.greenpeace.org
menyebutkan bahwa dari 500 pabrik yang berdiri di hulu sungai Citarum, hanya
20% yang melakukan pengolahan limbah hasil pabriknya. Sementara sisanya
membuang langsung limbah mereka secara tidak bertanggung jawab ke anak sungai
Citarum atau bahkan ke sungai Citarum langsung tanpa pengawasan dan tindakan
dari pihak berwenang dalam hal ini pemerintah. Hal ini menjadikan industri yang
berada di wilayah ini sebagai penyumbang kerusakan ekosistem sungai Citarum.
Di sisi lain, adanya penutupan saluran pembuangan limbah pabrik di
Cimahi yang mencemari sungai Citarum oleh TNI pada Minggu, 27 Mei 2018 lalu
memang memperlihatkan bahwa pemerintah mulai tegas menegakkan hukum dan
menyukseskan cita-cita Citarum Harum 2025. Namun, ini juga merupakan bukti
bahwa sebelumnya pengawasan terhadap industri-industri masih lemah hingga masih
ada yang bandel.
Kondisi ini merupakan potret parahnya pengelolaan air permukaan di
Indonesia. Padahal seperti yang penulis ungkapkan sebelumnya ada lebih dari 30
juta orang yang memanfaatkan sungai Citarum sebagai salah satu sumber
kehidupannya. Tentu tercemarnya sungai Citarum membawa dampak yang amat besar
pada kehidupan masyarakat, terutama dalam masalah akses atas sumber air yang
bersih dan aman untuk dikonsumsi.
Setiap tahunnya ada 300 dari 1000 atau 3 dari 10 orang Indonesia
harus menderita berbagai penyakit akibat mengonsumsi air yang telah
terkontaminasi tersebut.
Langkah
Perbaikan
Keluarnya
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum
menjadi angin segar bagi masa depan sungai Citarum. Meskipun sebelumnya telah
ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Perpres Nomor 15 ini menjadi penguat misi bahwa kedepan air Citarum layak diminum.
Lebih lanjut Perpres ini mendorong pelaku industri untuk mengatur dan mengelola
limbah pabrik agar tidak dibuang ke sungai Citarum.
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan dan pentingnya sungai
Citarum bagi kehidupan masyarakat, target Sungai Citarum Harum 2025 tentu bukan
sebuah impian yang terlalu besar. Namun, hal ini tentu tidak akan berjalan
efektif dan efisien jika tak dibarengi dengan tekad masyarakat untuk mewujudkan
impian ini.
Seperti dalam Jurnal yang berjudul “Pengelolaan Sungai Berbasis
Masyarakat Lokal Di Daerah Lereng Selatan Gunung Api Merapi” (Darmanto & Sudarmadji, 2013), pemanfaatan
kearifan lokal bisa menjadi solusi pengelolaan sungai. Pemeliharaan terhadap
alur sungai terhdapa kerusakan lingkungan dapat dilakukan berdasarkan atas
kesadaran untuk keberangsungan lingkungan yang dilakukan secara perseorangan
dan berkelompok. Dalam pemeliharaan dikedepankan asas kegotongroyongan tanpa
mengabaikan budaya masyarakat setempat.
Karakteristik masyarakat Indonesia yang senang bergotongroyong dapat menjadi nilai tambah bagi penerapan
Perpres nomor 15, meskipun pada masyarakat perkotaan hal ini mulai tidak
terlihat. Sehingga perlu adanya pembangkitan budaya tersebut. Misalnya, dalam
pembersihan sungai Citarum masyarakat sekitar diminta terlibat agar masyarakat
merasa memiliki sungai Citarum.
Calon Gubernur Jawa Barat Sudrajat menyatakan bahwa jika ingin ada
percepatan pembersihan sungai Citarum maka dana yang diperlukan minimal 3
triliun rupiah (Nugroho, 2018). Hal ini tentu bisa efisienkan jika
budaya gotong royong di masyarakat tumbuh dengan baik. Bisa dibayangkan jika 30
juta masyarakat bantaran sungai Citarum bergotongroyong tentu lebih efisien
dibanding hanya ribuan satuan petugas yang jumlahnya tak sampai 10000 orang
membersihkan sungai Citarum.
Dalam penelitian lain (B, Lupiyanto, & Wijaya, 2010), partisipasi
masyarakat lokal menjadi kunci strategis untuk dapat diberdayakan dan
disinergikan dengan komponen lainnya seperti pemegang kepentingan dalam hal
pengelolaan sampah. Komunitas lokal yang banyak terbentuk di sekitar aliran
sungai dapat diberdayakan.
Permasalahan mendasar dari hal ini
adalah kurangnya koordinasi dan komunikasi antara masyarakat dan para pemegang
kepentingan. Padahal, komunitas lokal dapat dikoordinir dalam suatu lembaga
formal yang didukung penuh oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah.
Walaupun pengelolaan sungai Citarum adalah ranah pemerintah pusat, sehingga
koordinasi lagi-lagi menjadi kunci utama.
Tak hanya sampai masyarakat lokal,
pelibatan pihak-pihak lain seperti perguruan tinggi, swasta, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan lainnya juga dapat berperan dalam menguatkan program pemberdayaan
masyarakat tersebut. Contohnya, pemberian edukasi untuk membudayakan tidak
membuang sampah sembarangan.
Namun, tak hanya dukungan secara
moril, dukungan sarana dan prasarana untuk menyukseskan keterlibatan masyarakat
juga sangat penting.
Tempat sampah. Dalam masyarakat kadang kendala
tidak adanya tempat sampah atau jauhnya lokasi tempat sampah juga menjadikan
warga malas untuk membuang sampah pada tempatnya. Alhasil, sungailah yang
menjadi lokasi terdekat untuk membuang sampah.
Selain itu, program pengurangan
penggunaan sampah plastik juga patut diperhitungkan mengingat sampah yang
banyak di aliran sungai Citarum adalah sampah plastik.
Sebagi contoh, Pemerintah Kota
Banjarmasin telah melarang penggunaan kantong plastik pada pusat perbelanjaan
modern melalui Peraturan Walikota Nomor 18 Tahun 2016 (Susanto, 2017). Meskipun pada awalnya masyarakat
banyak mengeluh dan tidak mendukung program ini, lambat laun masyarakat
terbiasa dan tentu hal ini mengurangi sampah plastik yang digadang-gadang
menjadi salah satu masalah global.
Tak hanya sampai pusat perbelanjaan yang
menjamur di Banjarmasin, Pemerintah Kota Banjarmasin pun mulai melakukan
sosialisasi pada toko-toko kecil untuk mulai melakukan diet kantong plastik.
Masyarakat pun mulai mendukung gerakan ini.
Pada akhirnya, dengan menerapkan
hal-hal sederha seperti melibatkan masyarakat dalam proyek Citarum Harum tentu akan
lebih efektif dan efisien.
Referensi
Ikan-ikan Pun Kalah di
Citarum. (2011, Mei 1). Retrieved Mei 30, 2018, from
Kompas.com:
https://regional.kompas.com/read/2011/05/01/13495482/Ikan.ikan.Pun.Kalah.di.Citarum.
Luas Wilayah Negara
Indonesia. (2013, Maret 28). Retrieved Mei 30, 2018, from
Mengenal Indonesia: http://www.invonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html
B, W., Lupiyanto, R.,
& Wijaya, D. (2010). Pengelolaan Kawasan Sungai Code Berbasis Masyarakat.
Jurnal Sains dan Teknologi Vol 2 Nomor 1, 7-20.
Darmanto, D., &
Sudarmadji. (2013). Pengelolaan Sungai Berbasis Masyarakat Lokal Di Daerah
Lereng Selatan Gunung Api Merapi. Manusia dan Lingkungan Vol 20 No. 2,
229-239.
India, T. o. (2018,
Maret 2). Indonesia to Clean Citarum: the Worlds Dirtiest River.
Retrieved Mei 30, 2018, from timesofindia.com: https://timesofindia.indiatimes.com/world/rest-of-world/indonesia-to-clean-citarum-the-worlds-dirtiest-river/articleshow/63139549.cms
Lestari, M. R. (2018,
Januari 16). WALHI: Indonesia Masuk 10 Besar Negara Kaya Air, Tapi Krisis
Air. Retrieved Mei 30, 2018, from Netralnews.com:
http://www.netralnews.com/news/nasional/read/123664/walhi.indonesia.masuk.10.besar.negara.ka
Nugroho, S. A. (2018,
Mei 14). Sudrajat: Lima Tahun Citarum Beres Asal Ada Dana Minimal Rp 3
Triliun. Retrieved Mei 30, 2018, from Kompas.com: http://regional.kompas.com/read/2018/05/14/21344191/sudrajat-lima-tahun-citarum-beres-asal-ada-dana-minimal-rp-3-triliun
Ramadhan, B. (2015,
Oktober 15). Indonesia Peringkat 5, Negara dengan Cadangan Air Tawar
Terbesar Dunia. Retrieved Mei 30, 2018, from GoodNews from Indonesia:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/10/15/indonesia-peringkat-5-negara-dengan-cadangan-air-tawar-terbesar-dunia
Susanto, D. (2017,
November 24). Diet Kantong Plastik Kota Banjarmasin Mendunia.
Retrieved Mei 30, 2018, from Media Indonesia: mediaindonesia.com/read/detail/133542-diet-kantong-plastik-kota-banjarmasin-mendunia
[1]Luas Wilayah Negara
Indonesia. (2013, Maret 28). Dipetik Mei 30, 2018, dari Mengenal Indonesia:
http://www.invonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html
[2]Ramadhan,
B. (2015, Oktober 15). Indonesia Peringkat 5, Negara dengan Cadangan Air
Tawar Terbesar Dunia. Dipetik Mei 30, 2018, dari GoodNews from Indonesia:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/10/15/indonesia-peringkat-5-negara-dengan-cadangan-air-tawar-terbesar-dunia
[3] Lestari,
M. R. (2018, Januari 16). WALHI: Indonesia Masuk 10 Besar Negara Kaya Air,
Tapi Krisis Air. Dipetik Mei 30, 2018, dari Netralnews.com:
http://www.netralnews.com/news/nasional/read/123664/walhi.indonesia.masuk.10.besar.negara.ka
- Home>
- #writingthondikti >
- SOLUSI MASA DEPAN UNTUK CITARUM: Pemberdayaan Masyarakat Lokal untuk Percepatan Citarum Harum