#RepostFromLine@
[Akhiri Debat Valentine Sekarang]
Oleh: Azhar Rizaldi
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara-STAN
Semenjak tahun selepas 2005-an saat akses internet sudah mulai menyebar ke seantero nusantara, saat itu pula era baru pergolakan informasi di masyarakat kita di mulai. Yang awalnya kita cuma bisa melihat perkembangan tren hanya melalui televisi, koran, majalah ataupun radio, sekarang wadah -wadah kecil itu tergantikan dengan kolam yang lebih luas yang sekarang kita sebut dengan media sosial. Tempat kalian baca artikel ini sekarang. Juga tempat gue menumpahkan isi pikiran gue dan menuangkannya kepikiran kalian.
Sebenarnya gue pingin lebih banyak bertele-tele dengan retorika, tapi berhubung gue udah eneg duluan sama retorika gue sendiri, mari kita langsung to the poin aja. Udah baca judulnya kan?
Yap, lagi-lagi Valentine.
Hari kasih sayang.
Tapi IMO, ketimbang hari kasih sayang, 14 Februari itu lebih cocok dinamai sebagai hari debat nasional. Terdengar becanda tapi itu relevan.
Netizen lagi-lagi harus disuguhi debat tentang isu yang selalu berulang tiap tahunnya, yaitu hari valentine, antara para ustad-ustad sosmed (gue ga tau harus pakai istilah apa, atau aktivis dakwah aja kali ya) versus para penggiat Valentine dari berbagai sektor, mulai dari aktivis kebebasan, penggiat bisnis, dan of course para couple yang sedang dimabuk kepayang.
Gue, elu dan sekian orang lainnya yang membenci perdebatan dan keributan via sosmed tidak penting seperti itu tentu akan sangat terusik dengan tren tahunan seperti yang ada sekarang.
Padahal sederhananya perdebatan itu tidak lain hanya membenturkan dua kubu yang punya kesimpulan yang berbeda tentang perayaan hari kasih sayang;
1.Kubu yang melarang perayaan Valentine.
2.Kubu yang membolehkan dengan segala argumen untuk merayakannya.
Boleh atau gak boleh.
Sebenarnya tinggal milih aja kan?!
Kenapa permasalahan ini gak bisa sesederhana isu rokok?
Jika gak mau sakit ya jangan merokok.
Kalo mau merokok ya silakan, tapi harus tanggung konsekuensinya.
Namun semenjak adanya media sosial, masalah boleh gak boleh ini kian merumit. Orang-orang berantem gara-gara hal sesepele hari Valentine. Setiap. Tahunnya. Gusti...
Tapi belakangan akhirnya gue mengetahui bahwa di kedua kubu punya alasan yang kuat untuk tetap menjaga perdebatan ini awet sampai sekarang ini.
Pertama, orang-orang yang gue sebut sebagai aktivis dakwah. Mereka punya argumen kuat, yaitu, melarang seseorang dari kemaksiatan adalah sebuah kewajiban yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Alhasil, mereka pun melarang segala macam bentuk perayaan Valentine. Apa hubungannya Valentine dengan maksiat? Untuk pertanyaan ini, gue anggap kalian semua sudah tahu jawabannya.
Kemudian, para penggiat dan simpatisan Valentine yang menjadi rival mereka. Yes. Para aktivis kebebasan individu, yang menganggap melarang seseorang dari merayakan Valentine sama saja menekan mereka dari hak individunya. Kemudian para couple yang sudah punya rencana jauh-jauh hari. Dan yang paling berat, para pelaku bisnis.
Kedua kubu saling melancarkan aksi untuk mendapatkan sebuah kondisi yang mana satu sama lain saling gak menginginkannya.
Mari gue jelaskan inti masalah dari betapa riweuhnya hari Valentine ini
1. Jika kampanye para aktivis dakwah tentang kemudarotan perayaan Valentine berhasil, maka artinya kemaksiatan menurun. Namun jelas itu tekanan bagi para aktivis kebebasan karena merasa hak individu penggiat Valentine telah direpresi dengan diskriminasi lewat kampanye anti-Valentine (termasuk hak untuk bermaksiat, dalam pandangan mereka). And the worst, bisnis akan kehilangan potensi profit. Coba cek aja kapan lagi ada saat di mana penjualan bunga dan coklat bisa melonjak sampai 400% dan hotel-hotel pada diskon buat merayu para couple berdatangan. Dan jika orang-orang mulai mengamini kampanye pelarangan perayaan Valentine, tentu itu kehilangan besar bagi para pelaku bisnis!
2. Jika para penggiat Valentine yang menang, sederhananya yang akan untung besar hanyalah sektor bisnis. Sementara para aktivis dakwah meradang menyaksikan kemaksiatan semakin merajalela.
Mungkin dari penguraian gue di atas, sudah bisa dibaca gue memihak siapa.
Tapi karena gue gak suka memihak suatu kelompok, gue lebih memilih menyebutnya sebagai memihak sebuah keputusan.
Gue mendukung pelarangan perayaan Valentine.
WAH INI PASTI AKTIVIS DAKWAH YANG MENYAMAR!
Whatever.
Gue akan menjelaskan opini gue dengan sangat sederhana dan dengan alasan paling rasional yang bisa seorang manusia pahami.
Gak.
Gue gak akan bawa dalil-dalil ke sini.
Gue juga gak akan membawa soal akidah karena itu bukan teritori gue untuk gue jadiin dasar argumen.
Gue gak akan bawa-bawa cerita tentang seseorang bernama St.Valentine yang dihukum mati gara-gara kepergok selingkuh.
Gue juga gak akan berbelit soal kebebasan individu yang endless buat dibahas.
Yang gue jadiin sebagai dasar keberpihakkan gue adalah; perayaan Valentine sangat merugikan.
Simple rite?
RUGI DI MANA KATANYA PENJUALAN INDUSTRI MERCHANDISE VALENTINE NAIK 400%.
Karena rugi bukan cuma soal kehilangan potensi penjualan.
Argumentasi gue adalah, akibat perayaan Valentine, meskipun industri bisnis untung sangat banyak, tapi masyarakatlah yang justru merugi. Kenapa?
Pertama kita harus sementara sependapat bahwa benefit bukan sekadar tentang materi; uang, tingkat penjualan, dan gengsi.
Benefit juga tentang ketertiban masyarakat, kebahagiaan, dan kesejahteraan.
Dan kita juga harus sementara sependapat bahwa; bisnis harus memerdulikan masyarakat, bukan semata demi bisnis itu sendiri. Keuntungan ekonomi bisnis harus diselaraskan dengan kesejahteraan masyarakat, idealnya. Tapi kenyataanya tidak semanis gue.
"Loh, bukannya semakin untung sektor bisnis semakin sejahtera masyarakat?"
Gue kasih tahu, bahwa logika ini salah besar. Sejahtera di mata bisnis hanyalah soal profit, arus kas, dan kepemilikkan aset. Ekonomis.
Sementara sejahtera bagi masyarakat itu punya tiga dimensi.
Sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan.
Masyarakat boleh kaya, tapi kalau banyak yang mati gara-gara limbah, atau semakin meningkatnya populasi anak durhaka ya buat apa kaya? Misalkan ternyata sebuah production house sedang naik pamornya gegara bikin sinetron "Anak Jalanan season Durhaka" tapi justru membelokkan perilaku anak-anak yang nonton jadi beringas sama orang tua sendiri, apakah itu disebut keuntungan?
Gue sudah muak dengan segala argumentasi yang berupaya membenarkan bisnis-bisnis yang hanya dominan di segi ekonominya saja sementara abai terhadap dua sisi lainnya. Mereka bilang kalo sebuah bisnis ini dilarang, maka akan banyak pengangguran. Padahal yang dibela adalah bisnis prostitusi, yang sangat merugikan di segi sosial budayanya. Sekarang argumentasi soal perayaan Valentine, yang katanya kalo dilarang, para pelaku bisnis bakal kehilangan potensi profit. Padahal keuntungan bisnis dari pewajaran perayaan valentine tidak seberapa dengan kerugian yang harus ditanggung masyarakat.
Well, gue emang gak punya data yang bisa menjadi bukti bahwa masyarakat memang benar-benar merugi saat perayaan Valentine.
Tapi gue mau mengajak kalian melihat fakta yang ada dimasyarakat. Dan jangan menutup mata. Terserah mau dibilang apa, yang jelas gue sudah cukup jadi saksi betapa perayaan valentine telah membuat remaja-remaja kita terjerumus.
Dan gue gak cuma bilang terjerumus yang gue maksud sekadar soal seks bebas.
Tapi juga tentang perilaku 'menentang' dengan norma yang hidup di masyarakat kita.
Mungkin kalian yang dalam kepalanya sedang membentuk argumen-argumen kontra dengan opini gue di atas, punya alasan sendiri. Menganggap bahwa Valentine dan seks bebas gak ada hubungannya, karena di negara barat sendiri pun seks bebas tetap lancar di negara mereka, kapan pun itu. Dan mereka, sejahtera aja tuh. (Yakin?)
Itulah penyakit kita. Misreferensi. Emang gak bisa dimungkiri bahwa kita lebih sering mengambil media sebagai bahan observasi kita, namun jarang sekali berempati dengan lingkungan.
Gue bicara bukan cuma tentang orang dewasa atau remaja.
Tapi juga tentang anak-anak.
Adik-adik lelaki kita yang masih SD, atau SMP yang kemudian bertingkah layaknya pria dewasa, atau bahkan bermulut jorok.
Juga adik-adik perempuan kita yang masih lugu dan sangat-sangat-sangat rentan menjadi korban seks bebas.
"Bukankah itu dampak dari banyak faktor? Media misalnya? Orangtua yang abai dengan gadget anaknya, atau pergaulan yang tidak kondusif. Lalu apa peran Valentine hingga dilarang?"
Peran Valentine tidak lain dan tidak bukan adalah momentum untuk menyempurnakan segala pengaruh negatif tersebut. #catet
Gue gak lagi bicara data, gue bicara fakta.
Gue bicara tentang tetangga, teman, rekan, sahabat yang telah menjadi korban oleh dampak bisnis yang tidak henti-hentinya mempromosikan perayaan Valentine ini demi lakunya produk mereka.
Coklat, bunga, kondom, kamar hotel, dan perangkat Valentine lainnya.
Karena, bisnis hari ini gak cuma menawarkan produk, tapi juga menjual pengaruh. Lantas siapa yang harus menanggung kerugian terbesar dari pengaruh itu? Yap, adik-adik kita, yang kelak akan jadi partner ngurusin negara ini.
Namun meskipun Valentine bukan selalu soal seks bebas, ini juga soal kebiasaan untuk memaknai sesuatu. Tidak semua orang memaknai hari Valentine ini dengan bermaksiat ria, karena gue yakin memaknai adalah hak setiap orang. Tapi bagi gue, sudah cukup buat berhusnudzon terhadap hari Valentine ini, sementara di luar banyak adik-adik kita yang memilih untuk berlagak dewasa, seperti film-film yang mereka tonton, dan kakak-kakak yang mereka contoh. Padahal kakak-kakaknya sendiri hanya latah ikut-ikutan trend barat.
Dari kebobrokan lingkungan, mereka;
Belajar 'nembak.'
Belajar pacaran.
Kemudian khilaf.
Dan dari Valentine mereka belajar;
Merayakannya.
Namun apapun argumentasinya percayalah, bisnis tidak akan menyerah. Seolah berujar "you either stand with me, or against me."
Sekarang mari akhiri debat, dan tentukan sikap.
Sumber: http://korelasi.tumblr.com